Pejuang Senja “Kakek Penjual Bakiak”


Julia Jepret's
 Siang menyengat Yogyakarta, seorang kakek berjalan memanggul dagangannya, dengan tertatih-tatih beliau mencoba menjemput keberkahan rezeki yang Allah berikan untuknya. Ya beberapa waktu lampau saya pernah melihat beliau di Jl.Glagahsari, Yogyakarta, namun hanya sepintas karena ada agenda yang harus saya “kejar”. Dan dari sekilas melihat itu terbesit tanya dalam pikiran saya tentang “kemana anak-anaknya? Atau keluarganya?” ya saya tidak pernah rela melihat orang sepuh (tua renta) masih “berkerja keras”.
 
***

Lama tidak menjumpai beliau, penghujung Maret lalu sahabat saya bertemu dengannya, berbincang-bincang, dan mengabadikan aktivitas kakek penjual bakiak tersebut. Berasal dari sebuah kecamatan nan jauh dari kota Yogyakarta, Desa Dlingo itulah tempat kakek berasal, 17 hari menempuh perjalanan ke kota Pelajar untuk mencoba menyambung usia, mencari sesuap nasi dengan jalan mulia tanpa meminta-minta. Berjalan kaki lebih dari 10 km dengan beban cukup berat, karena dagangannya terbuat dari kayu, panasnya aspal bukan halangan baginya, tanpa alas kaki beliau tetap menerjangnya.
Julia Jepret's


Kakek itu terus berjalan menawarkan dagangannya, Bakiak (sandal yang telapaknya terbuat dari kayu dengan pengikat kaki terbuat dari ban bekas yang dipaku dikedua sisinya), Dingklik (kursi kecil), dan Talenan(alas pemotang sayuran) yang semuanya terbuat dari kayu jati, cukup untuk memberatkan pundak. Barang-barang dagangan kakek terasa “aneh” di kehidupan modern saat ini yang semuanya serba lebih praktis dan “awet” dengan penggunaan plastik yang lebih variatif model dan warnanya, namun kakek tetap optimis bahwa barang-barangnya masih punya “fan’s”.

Mulia dan terhormat itulah sosok kakek penjual bakiak itu yang tetap berjuang di senja usianya untuk bertahan hidup, menyambung usia, memuliakan dirinya dengan tidak meminta-minta, lebih mulia dari Pengemis, Pengamen dan para KORUPTOR. Kakek tetap berjuang sampai usia yang akan menghentikan perjalanannya. 

“Di manakah anak-anak dan kerabatmu? Mengapa mereka membiarkanmu? Apakah kau sendiri? Senja usiamu kenapa masih kau isi dengan kerasnya perjuangan mempertahankan hidup, nikmatnya bercanda dengan cucu-cucumu apakah tidak pernah kau rasakan ataukah ini cara untuk membahagiakan semua keluargamu?”berbagai pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku. 

***

Julia Jepret's
Sahabat, itulah sekelumit kisah tentang sosok pejuang kehidupan yang masih bertahan di senja usianya untuk tetap berjuang memuliakan dirinya. Sosok kakek penjual bakiak ini hanyalah salah satu dari ratusan atau ribuan pejuang senja yang tetap berupaya memuliakan diri dan menjaga kehormatannya. Masih banyak pejuang-pejuang senja lain yang mungkin luput dari perhatian kita, sosok kakek penjual kerupuk (langganan umi asrama saya_yang akhir-akhir ini beliau tidak pernah datang), nenek penjual “tiwul” (yang dulu sering berjualan di depan kampus) dan masih banyak lagi pejuang-pejuang senja yang memuliakan dirinya tanpa meminta-minta belas kasihan orang lain.

Sahabat, mari kita bersyukur telah diberikan kemampuan dan nikmat yang lebih daripada kakek ini. Mari kita berupaya menjadikan diri kita berdikari untuk membantu orang-orang di sekitar kita yang kemampuan ekonominya lemah. Jangan biarkan orang tua kita mengalami keadaan yang sama dengan kisah kakek penjuang senja yang tidak bisa menikmati ujung usianya dengan nikmatnya beribadah kepada-Nya dan “momong cucu-cucu mereka”.

Ya Allah karuniakanlah kepada kami kita kepekaan hati yang mampu melihat kesusahan saudara kami dan izinkanlah kami untuk membantu mereka. Aamiin. (Vika Al-Khairaat Putri Az-Zahra)

*semoga Allah mengizinkan saya untuk bertemu dengan kakek penjual bakiak itu lagi.

              


 Yogyakarta “Asrama API”, 16 April 2012
Disela-sela menyelesaikan skripsi
11 : 28 pm

2 komentar:

  1. Semoga keridhoan Alloh terletak pada keridhoan beliau dalam menerima takdir hidupnya. Insya Alloh

    BalasHapus